Jeonju: You’ll never eat alone

Story by: Michael Eko

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai makanannya sendiri. Mungkin begitu semboyan yang tepat mewakili bagaimana diplomasi kuliner menjadi salah satu elemen yang memegang peran penting dalam ekspansi budaya Korea Selatan ke berbagai penjuru dunia.

Tidak hanya terkait dengan penghormatan kepada para petani, nelayan, peracik makanan serta resep leluhur, namun strategi kuliner global ala Korea Selatan menjadi representasi bagaimana budaya agraris tetap dipertahankan di tengah industrialisasi negeri yang kini telah masuk ke dalam satu dari barisan negara-negara maju di dunia.

Di balik gemerlap pabrik-pabrik, hamparan sawah dan sumber air tetap dipertahankan sebagai bentuk kesadaran bahwa urusan perut tetap lebih penting dari indikator pertumbuhan angka ekonomi. Ekonomi yang maju hanya menjadi angka pincang ketika para penduduknya lapar.

Pada 2016 saya berkesempatan berkunjung ke Jeonju, Korea Selatan untuk melihat bagaimana tradisi kuliner tetap dipertahankan. Tidak hanya ihwal mengisi perut, ia juga berkelindan dengan kemauan politik dimana pemerintah lokal berusaha memberi ruang dan mengangkat harga diri para pelaku kuliner, petani, nelayan dan seluruh pelaku budaya ke panggung dunia internasional.

“Saya baru saja pulang dari Colombia. Saya memasak bibimbap untuk ratusan orang”, begitu kata Kim Nyeon-im, master no.1 bibimbap yang oleh pemerintah Korea Selatan ditugaskan untuk memperkenalkan menu ini kepada dunia. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh perwakilan Jeonju di UNESCO, Chung Sheung Won, “Jika kami hanya bergantung kepada industri, tidak akan ada jumlah pekerjaan yang signifikan menopang ekonomi kami. Karena itu pemerintah kami mendukung industri kreatif, termasuk pariwisata dan kuliner”.

Di Jeonju sendiri telah didirikan Creative Culinary Institute of Korea sebagai institusi pendidikan yang memberi fondasi dan pengembangan kuliner Korea. Ia mirip seperti Silicon Valley bagi pelaku industri kuliner Korea.

Ketiga hal ini dapat menjadi gambaran bahwa budaya tradisional masih menjadi identitas yang penting di dalam era globalisasi saat ini. Mengakar ke budaya sendiri namun bermimpi seluas-luasnya adalah filosofi yang menjadi semangat bangsa ini.

 

You will never eat alone

Makan adalah sebuah kata kerja yang plural di Korea. Ia melibatkan subyek yang tak sendirian. Maka jangan heran bila masyarakat Korea selalu melibatkan keluarga maupun kawan untuk menyantap hidangan. Kebersamaan ala masyarakat Asia menjadi semangat yang selalu hadir dari ritual harian ini.

Baik memakan hidangan atau meminum makegeoli dan soju (minuman alkohol fermentasi beras) selalu melibatkan tindakan penghormatan kepada kolega. Mereka yang muda akan menuangkan air kepada orang yang lebih tua. Bahkan untuk menengak air minum, seseorang yang muda harus memutar badannya ke samping. Minum di hadapan muka orang yang lebih tua adalah hal yang tidak sopan.

“Kami tidak pernah makan sendirian. Kami tidak memiliki budaya makan atau minum sendirian macam orang-orang di peradaban barat”, ucap kawan saya Jain Song yang membawa kami berpetualang menjelajahi Jeonju.

Tentu saja makan bukan hanya ihwal insting survival. Ia adalah ritual yang memiliki fungsi penata modal sosial: penjaga harmoni dan pelekat rasa kekeluargaan. Penyeimbang dari tekanan pekerjaan dan kehidupan. Ia adalah jejaring kosmis yang menyadarkan bahwa manusia tidak akan pernah sendirian. Dalam hidangan dan minuman, alam dan sesama adalah elemen integral yang melengkapi kesempurnaan manusia.

Dapatkan akses untuk hasil reportase yang lebih lengkap.