DOA DIASPORA
Toleransi seperti itu juga yang terjadi di Sulawesi Utara. Di daerah pegunungan nan sejuk di Tondano dan kota dagang Manado, hiduplah komunitas kecil penganut agama Yudaisme. Yudaisme yang lahir dengan Bapa Abraham sebagai tokoh awalnya telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejarah awal nya dapat ditelusuri pada masa-masa kolonialisme perdagangan rempah-rempah kuno di Kepulauan Maluku, Sulawesi dan Timur Indonesia. Seperti dua agama Abrahamik lainnya, Islam dan Kristen, perdagangan adalah pintu masuk bagi diaspora religius tersebut.
Pengungsian karena kekerasan adalah awal mula dari pengembaraan bangsa ini. Para keturunan Yahudi yang diusir dari Spanyol dan Portugis pada sekitar tahun 1500an mengungsi ke dalam lambung kapal-kapal pedagang rempah hingga tiba di daratan Hindia Belanda. Waktu itu negara Indonesia belum terbentuk dan persilangan antara bangsa penjelajah dan penduduk lokal menjadi hal yang lumrah tanpa dibebani oleh ihwal administratif institusi politik modern.
Eureka! Nun jauh di lautan mereka melihat titik pijak di bumi Maluku dan sekitarnya, termasuk juga Sulawesi Utara. Sejak pendaratan itu, mulai beranakpinak lah mereka dan membangun sejarah hidupnya di nusantara. Beradaptasi dengan budaya lokal sembari menjaga identitas budayanya.
Namun, ambivalensi politik sepertinya menjadi kekuatan yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. Pasca Perang Dunia pada 1945 dan dimulainya revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sentimen-sentimen serta prasangka terhadap keturunan bangsa barat mulai muncul di masyarakat. Sebagai keturunan orang Eropa mereka dianggap sebagai pendukung kekuasaan kaum penjajah Belanda. Sebuah klaim yang abu-abu, sepihak dan belum tentu jelas kebenarannya.
Prasangka ini pula yang mempengaruhi komunitas-komunitas keturunan Yahudi di Indonesia. Mereka yang diidentikan dengan bangsa-bangsa Barat kemudian menjadi lebih low profile dan menutup diri sebagai siasat bertahan hidup. Hingga jaman orde baru, prasangka dan sentimen ini pun belum hilang. Peradaban yang dibangun dari sejarah yang pincang menyisakan trauma dan keheningan. Dalam sunyi mereka melanjutkan tradisi dan keyakinan lewat institusi peradaban terkecil, yaitu keluarga.
Beruntung, arus reformasi dan keterbukaan membuat Indonesia menjadi lebih terbuka akan hal-hal baru, termasuk juga dalam menggali kembali sejarah-sejarah yang dilupakan. Mulai terbukanya pintu kebebasan pada sekitar tahun 2000, membuat beberapa orang mulai menggali akar kultural dan religiusitasnya dengan lebih leluasa. Melakukan liturgi doa dengan bebas sembari percaya diri menggunakan beberapa simbol religi dalam keseharian.
Pencarian personal mempertemukan individu-individu yang resah ini ke dalam komunitas yang saling menguatkan dalam menemukan pencerahan jiwa dan identitasnya. Di Manado dan Tondano, komunitas ini mulai menggali kembali akar tradisi leluhurnya. Seperti takdir yang telah tertulis dalam detik sang kala, mereka berkumpul dan menggali kembali tradisi leluhur yang mengalir di darah mereka.
Di Manado, Rabi Yobbi Ensel bersama komunitasnya menggelar ibadah sabat setiap hari Sabtu. Ibadah sabat ini dimulai dengan berdoa bersama, membaca kitab Torah dan berdiskusi. Sebelumnya, pada Jumat malam, masing-masing umat membuka hari sabat di rumahnya masing-masing. Perjamuan menyantap roti dan anggur, berdoa, membaca kitab Torah dan memberkati setiap anggota keluarga adalah inti dari ibadah tersebut.
Sementara itu, di Tondano, komunitas Yudaisme yang dipimpin oleh Rabi Yakuvv Baruch juga menggelar kegiatan komunitas setiap hari sabat. Menempati sinagoga kecil di kota sejuk itu, mereka beribadah dan mengkaji ajaran agama.
Rabi Yakuvv Baruch yang memimpin komunitas ini awalnya tidak mengerti bahwa ia mengaliri darah Yahudi. Namun, setelah salah satu anggota keluarga menceritakan sejarah leluhurnya, baru kemudian ia mengerti bahwa ia mewarisi keturunan darah Yahudi. Setelah pencarian yang panjang, menelusuri sejarah keluarga dan menekuni kembali ajaran agama leluhurnya selama beberapa tahun, ia kemudian memeluk Yudaisme dan menjadi rabi.
Salah satu keluarganya kemudian menghibahkan sebuah rumah berdesain khas Eropa untuk digunakan sebagai sinagoga. Setelah membangun sinagoga, perlahan beberapa orang yang memiliki cerita serupa pun bergabung, belajar dan berdoa bersama untuk kemudian membentuk komunitas tersebut. Mereka menguatkan diri untuk meneruskan panggilan religiusnya.
Sejarah sepertinya selalu menyimpan kenangan-kenangan yang tidak lengkap. Tidak seperti kode-kode genetika yang tertulis secara pasti di dalam DNA manusia, kepingan-kepingan sejarah harus disusun kembali dengan pikiran, daya dan tenaga. Dengan kekuatannya untuk hidup di tengah arus represi dan prasangka, komunitas iniĀ justru memberikan bukti bahwa keyakinan adalah sebuah pilihan hidup yang dapat terus bertahan, seganas apapun situasi dunia yang melingkupinya. Ia tidak bisa dimatikan dan akan terus hidup di hati setiap manusia.
Sama seperti komunitas Yudaisme di Indonesia yang merangkai kembali serpihan sejarah dan menghidupi tradisi leluhurnya, identitas adalah sebuah proses tanpa henti dalam memaknai diri di tengah-tengah dunia yang terus berputar. Proses yang kelak diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sebuah rantai yang tak selesai.