Love is the only language we know
Photo : Michael Eko
Text: Wawancara dengan Billy
Arsip: Koleksi pribadi Billy
Cerita ini adalah salah satu fragmen dari seri foto Moris Diak
Nama saya Billy. Saya lahir di Timor Timur, sebelum propinsi itu berpisah dari Indonesia dan menjadi negara merdeka bernama Timor Leste. Saat konflik itu terjadi, saya masih anak-anak. Saya dan keluarga mulai mengungsi dari kampung kami ketika perang mulai. Saya mendengar suara tembakan dan orang-orang menangis saat itu.
Kami selamat dan berhasil mencapai daerah pengungsian di perbatasan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur. Namun keadaan masih sangat menyedihkan di sana. Tidak ada fasilitas dasar untuk hidup. Semuanya improvisasi karena kami tidak pernah menyiapkan diri dan menyangka bahwa perang akan berlangsung.
Kami menyangka bahwa masa depan kami akan suram di tempat itu. Namun suatu hari, beberapa suster mengundang kami untuk pergi belajar di pulau Jawa. Setelah tugas kemanusiaan mereka berakhir, mereka mengajak kami untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Orang tua saya pun memberikan ijin.


Ia kemudian menghubungi saya lewat telepon. Kami menyalakan ponsel saat upacara itu berlangsung. Dari kejauhan, saya mendengar orang-orang berdoa dan bernyanyi saat ayah dimakamkan. Saya sedih saat itu. Saya tidak bisa melihat wajah ayah saya untuk yang terakhir kali.









Ibu tidak bisa berbahasa Indonesia, sedangkan saya pun tidak bisa berbahasa Tetun. Seharusnya seorang anak mengerti bahasa ibu nya sendiri. Namun, cinta adalah satu-satunya bahasa yang dapat kami pahami.
Saat melihat keluarga kawan yang bahagia, saya selalu teringat keluarga di sana. Kami tidak pernah membayangkan perang mampu memisahkan keluarga kami. Saya berharap, kelak suatu hari kami dapat berkumpul dan makan malam bersama, seperti keluarga bahagia lain pada umumnya. Hidup harus terus berjalan. Semoga Tuhan mendengar doa saya.

