TANAH KAMI

Story by: Michael Eko

“Bunuh saja jika kau mau, tembak saja saya!” nyonya Singko mengenang peristiwa yang mengerikan pada tahun 1990-an ketika preman bersenjata menyerang dan mencoba menahan suaminya. Mereka disewa oleh perkebunan kelapa sawit untuk menggertak dan meneror desanya, yang terletak di daerah terpencil Kutai Barat, Kalimantan Timur di Kalimantan. Berjuang untuk mempertahankan kehidupan, suaminya menolak menjual tanah leluhur ke perusahaan. Pada pagi yang damai, letusan tembakan membawa kekerasan dan tangisan di tengah rimba.

Borneo adalah pulau terbesar ketiga di dunia. Ia menyimpan keanekaragaman hayati yang kaya dan merupakan rumah bagi banyak kelompok masyarakat adat. Namun, eksploitasi di pulau ini telah berlangsung lama dan menghancurkan lanskap hutan yang rimbun. Menurut Global Forest Watch, pulau Borneo kehilangan lebih dari 18,5 juta hektar pohon dari 2001-2014. Kalimantan, wilayah Borneo yang masuk ke dalam negara Indonesia, menyumbang nilai 7,3 juta hektar dari total kerugian ini. Pembalakan liar, konversi lahan, kebakaran hutan, perampasan tanah, dan penambangan besar adalah penyebab utamanya.

Sementara industri global mengekstraksi sumber daya alam dari Kalimantan, penduduk lokal ditinggalkan sebagai penonton tanpa peran, Mereka bekerja sebagai buruh bergaji rendah di tanah mereka sendiri. Konflik agraria antara penduduk asli dan perusahaan seperti cerita Ny. Singko adalah kejadian umum.

Dipicu oleh keserakahan dan difasilitasi oleh korupsi, pulau yang kaya ini berada dalam bahaya kepunahan, baik dalam hal degradasi budaya dan ekologi. Dengan meningkatnya penggundulan hutan, yang menyebabkan terjadinya bencana seperti kebakaran hutan, banjir, longsor, kepunahan spesies, pemanasan global, pencemaran air, dan polusi udara, penduduk pribumi paling menderita secara sosial dan ekonomi.

Muara Tae: Kesedihan yang disimpan sendiri.

Pada tahun 2014, saya pergi ke desa Muara Tae di Provinsi Kalimantan Timur. Saya telah secara teratur mengunjungi desa ini beberapa kali. Desa ini terkenal dengan semangat pemberontakannya untuk melawan perusahaan global yang telah merambah tanah leluhur mereka. Sejak tahun 1970-an orang Dayak Benuaq di Muara Tae telah berjuang untuk melindungi tanah mereka. Suami Ibu Singko adalah salah satu dari beberapa orang penting yang secara konsisten menolak industri global untuk berdiri di atas tanah mereka.

Di usia mudanya, ia dan teman-temannya melarikan diri ke hutan ketika orang-orang bersenjata datang ke desa untuk menangkap mereka. Selama lebih dari empat dekade, tanah leluhur telah dihancurkan dan diubah menjadi industri eksploitatif. Menurut kegiatan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh orang Muara Tae dan beberapa lembaga swadaya masyarakat pada tahun 2011, hanya ada 4000 dari 12.000 hektar lahan leluhur Muara Tae yang tetap utuh.

Meskipun waktu berlalu cepat, eksploitasi kontemporer masih terjadi dalam pola yang sama. Industri global dan kekuatan lokal telah menempatkan tanah ke dalam kehancuran. Pada 2015, perusahaan tambang batubara menghentikan kegiatan mereka karena resesi global pada permintaan batubara.

Hal ini menyebabkan degradasi lahan dan dekadensi sosial budaya: banyak orang meninggalkan pekerjaan dan mencoba bermigrasi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik; anak-anak dan remaja sekarang menjadi target baru untuk narkoba dan alkohol; lubang penambangan batubara raksasa ditinggalkan; kebakaran hutan dan krisis air terjadi.

Tidak hanya perusahaan tambang batubara, industri kelapa sawit juga telah menjadi ancaman bagi masyarakat lokal. Didukung oleh kekuatan politik, industri eksploitatif dapat merambah tanah warga di masa depan. 

“Sebelum perusahaan-perusahaan itu datang, walau miskin, hidup kami bahagia. Tidak ada konflik di masyarakat.” (Mimpin – Kepala Adat Desa Muara Tae)

Pada tahun 2014 saya mulai bekerja dengan komunitas ini untuk mengidentifikasi tanah leluhur mereka. Bekerja dalam kolaborasi, kami mengidentifikasi lokasi-lokasi penting sesuai dengan perspektif ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat. Kami memetakan tempat-tempat yang telah dihancurkan oleh perusahaan global, serta daerah hutan yang masih utuh di mana orang masih memiliki harapan untuk masa depan. Di tanah yang masih terjaga ini mereka menanam pohon dan bercocok tanam. Menanam, bagi mereka, adalah sebuah bentuk perlawanan.

Menggabungkan GPS dan fotografi, kami menempatkan suara komunitas adat ke dalam peta. Kami percaya, jika visualisasi adalah tindakan politik, peta dan fotografi akan memiliki peran besar dalam mempengaruhi perubahan.

Secara personal, kisah foto ini adalah kesaksian pribadi tentang bagaimana kita harus sadar dan kritis terhadap mesin ekonomi, dimana tanpa sadar, kita telah terjebak di dalamnya. Kapitalisme telah membunuh dirinya sendiri. Kecenderungan pendekatan ekonomi yang destruktif ini telah menempatkan orang miskin dan tidak berdaya sebagai korban yang paling terlupakan. Pada akhirnya, kita perlu mendekonstruksi dogma ekonomi ini dan mengingat kembali kearifan lokal untuk membangun kembali kerukunan sosial, budaya dan ekologi kita.

Komunitas adalah kekuatan. Demokratisasi teknologi, pemerataan dan lokalisasi ekonomi, pendidikan partisipatif, akses terbuka masyarakat terhadap representasi politik yang transparan dan menghubungkan kembali masyarakat ke dalam kearifan lokal, sejarah dan identitas, dapat menjadi alat  untuk merebut kembali kedaulatan yang beradab.

Keadilan sosial adalah proses di mana kita mendapatkan kembali martabat kita melalui kedaulatan ekonomi, budaya dan sosial. Sebentuk solidaritas untuk merangkul semua orang dalam kemanusiaan. Liberte! Egalite! Fraternite!

Dapatkan akses untuk hasil reportase yang lebih lengkap.