PUPPET OF HOPE
Photo story: Michael Eko
Cerita ini adalah salah satu fragmen dari seri foto Moris Diak
1999. Perang saudara di propinsi Timor Timur.
Pisahnya propinsi Timor Timur dari Indonesia menjadi negara merdeka bernama Timor Leste harus dilalui dengan masa transisi yang sarat konflik. Setelah referendum memutuskan bahwa Timor Leste menjadi negara merdeka, pertikaian saudara berlangsung di beberapa tempat di area tersebut, serta juga kawasan perbatasan di Nusa Tenggara Timur.
Pada titik krusial tersebut, banyak keluarga terpisah, baik karena alasan perbedaan pendapat atau ideologi, atau pun juga karena keadaan yang memaksa mereka mengungsi ke tempat aman. Beberapa di antara pengungsi adalah anak-anak yang harus melepas masa kecilnya untuk hidup di area pengungsian. Di tengah kondisi pengungsian yang jauh dari kondisi layak, beberapa anak harus pergi meninggalkan keluarganya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Atas dasar rasa kemanusiaan, beberapa organisasi kemanusiaan mengajak anak-anak yang belia tersebut untuk merantau ke negeri seberang untuk mendapat pendidikan yang layak.
Moris diak adalah sebuah seri fotografi yang mencoba memahami bagaimana kehidupan pasca perang berlanjut bagi anak-anak rantau tersebut. Melalui riset dan penelusuran kembali ke tiga daerah: Yogyakarta, Surabaya, Depok, seri fotografi ini mencoba memahami bagaimana perang memisahkan ikatan keluarga, serta memahami bagaimana anak-anak tersebut tumbuh membangun masa depan dengan optimisme.




Di tempat ini mereka hidup dan berkembang menjadi dewasa. Hampir sebagian besar anak-anak ini tumbuh dan berakulturasi dengan budaya Jawa dimana mereka tinggal. Wayang dan sepak bola adalah salah satu kegiatan favorit mereka. Seri foto ini berusaha menampilkan bagaimana akulturasi ini menjadi salah satu elemen penting pembentuk pribadi anak-anak ini setelah beranjak dari trauma pasca perang.




” Meminjam kode visual wayang Jawa yang ditampilkan dalam bayang-bayang, mereka bereksplorasi mengenai harapan dan cita-cita di masa depan. Sejarah mungkin menyimpan bayang-bayang trauma atau kisah sedih, namun manusia adalah makhluk yang otonom, yang dapat memilih ke mana masa depan akan diarahkan. Bagi anak-anak ini, masa depan adalah hidup yang harus diperjuangkan.”