TJONG A FIE

Kemiskinan di Tiongkok memaksanya menerima tantangan: merantau ke selatan. Mengarungi bahaya Laut Cina Selatan ia tinggalkan tanah kelahirannya di Guangdong. Berbekal uang sepuluh perak ia merantau dan tiba di pantai Timur Sumatera. Pada 1880 di kota kecil Labuhan ia mendarat dan bergabung dengan sesama rantau yang telah tiba lebih awal.

Diaspora Tiongkok di tanah Hindia Belanda. Karirnya menanjak. Menjadi pedagang dan juga kapitan yang dipercaya pemerintah Hindia Belanda saat itu. Namun pergaulannya luas dari sekedar politik. Dari Sultan Deli hingga rakyat jelata. Dari usaha dagang, perkebunan, bank hingga jalur kereta api di Cina.

Di akhir hayatnya, ribuan orang mengantar ke peristirahatan terakhir. Memenuhi kota Medan sebagai bentuk penghormatan.

Kini rumahnya tetap berdiri tegak memadukan gaya arsitektur Eropa, Asia dan Peranakan. Menjadi penanda bahwa Indonesia dibentuk dari sejarah multikultur berbagai kaum diaspora yang beraneka rupa.

<iframe src='https://cdn.knightlab.com/libs/timeline3/latest/embed/index.html?source=1NSumvM77fqjvK-P8Z4BBGPuH7frXn1x5AaQvhAYUuDs&font=Default&lang=en&initial_zoom=2&height=650' width='100%' height='650' webkitallowfullscreen mozallowfullscreen allowfullscreen frameborder='0'></iframe>

“There on earth where I stand, I hold the sky.

Success and glory consist not in what I’ve gotten but in what I’ve given”

– Tjong A Fie –

Sumber:

  • KITLV
  • Chang, Queeny. Memories of  A Nonya. 2016. Marshall Cavendish International (Asia) Pte Ltd.